Tags

, , , , ,

14311378_337854306552758_2299634484117698571_o

Oleh: M. Arif Rahman Hakim

Berbicara mengenai muslim di Australia, terdapat sejarah yang panjang dan bervariasi yang diperkirakan sudah hadir sebelum pemukiman Eropa. Berdasarkan data organisasi sejarah Australia, beberapa pengunjung awal Australia adalah Muslim dari Indonesia bagian timur. Mereka membangun hubungan dagang dengan penduduk asli Australia, yaitu suku Aborigin sejak abad ke 16 dan 17. Sebagian besar dari muslim pendatang tersebut adalah masyarakat yang berasal dari suku Bugis-Makassar yang memang terkenal dengan bangsa pelaut ulung.

Pengunjung Muslim awal — Pedagang Bugis-Makassar

Pengenalan Islam masa awal di Australia dilakukan oleh nelayan dan pedagang Bugis- Makassar yang tiba di pesisir utara Australia Barat, Australia Utara dan Queensland yang diperkirakan datang pada awal abad 16. Bangsa Bugis-Makassar berdagang dengan penduduk Asli Australia, yaitu bangsa Aborigin dan mencari teripang yang mereka jual sebagai makanan di pasar Cina yang menguntungkan. Hal ini berlangsung dalam kurun waktu yang lama dan terjadi pada beberapa generasi sehingga berefek pada jalinan komunikasi, budaya dan agama antar kedua bangsa, yaitu Bugis-Makassar.

Bukti-bukti dari kunjungan awal ini dapat ditemukan pada kesamaan beberapa kata bahasa Bugis-Makassar yang terserap menjadi bahasa penduduk asli pesisir Australia. Lukisan gua Aborijin menggambarkan perahu Pinisi tradisional Bugis-Makassar dan sejumlah peninggalan suku Bugis-Makassar telah ditemukan di pemukiman suku Aborijin di pesisir barat dan utara Australia. Selain itu, perkawinan antara Penduduk Asli dan orang Makassar diyakini pernah terjadi. Hal ini semakin diperkuat dengan ditemukannya beberapa pemakaman orang Bugis-Makassar yang dikuburkan sepanjang garis pantai utara Australia.

Imigran Afganistan (Penunggang Unta) dan masa kolonial

Imigran Muslim dari pesisir Afrika dan wilayah pulau di bawah Kerajaan Inggris datang ke Australia sebagai pelaut dan narapidana dalam armada pertama pendatang Eropa pada akhir dasawarsa 1700an. Populasi Muslim semi permanen pertama dalam jumlah yang signifikan terbentuk dengan kedatangan penunggang unta pada dabad 18.

Gelombang kedatangan selanjutnya adalah imigran muslim yang berasal dari India, yang mana kelompok muslim ini mempunyai peran yang sangat vital bagi penjelajahan awal pedalaman Australia dan pembentukan layanan perhubungan.

Salah satu proyek besar yang melibatkan penunggang unta Afganistan adalah pembangunan jaringan rel kereta api antara Port Augusta dan Alice Springs, yang kemudian dikenal sebagai Ghan. Jalur kereta api dilanjutkan hingga ke Darwin pada 2004.

Para penunggang unta ini juga memegang peran penting dalam pembangunan jalur telegrafi darat antara Adelaide dan Darwin pada 1870 – 1872, yang akhirnya menghubungkan Australia dengan London lewat India.

Melalui peran imigran muslim melalui karya awal ini, sejumlah kota ‘Ghan’ berdiri di sepanjang jalur kereta api. Banyak dari antara kota-kota ini yang memiliki sedikitnya satu masjid, biasanya dibangun dari besi bergelombang dengan menara kecil, seperti di wilayah Bankstown Station, Punchbowl station, dan daerah stasiun kereta api lain. Hal ini juga berpengaruh pada banyaknya makanan halal disekitar stasiun di Australia.

Namun, kehadiran kendaraan bermotor dan transportasi lori bermesin menandai akhir era penunggang unta. Sementara sebagian dari mereka pulang ke negara asalnya, dan yang lainnya memilih bermukim di daerah dekat Alice Springs dan daerah lain di Australia Utara.Disamping itu para imigran muslim ini banyak yang menikah dengan penduduk Asli setempat. Keturunan penunggang unta Afganistan sejak itu berperan aktif dalam berbagai komunitas Muslim di Australia.

Sejumlah kecil Muslim juga direkrut dari koloni Belanda dan Inggris di Asia Tenggara untuk bekerja di industri mutiara Australia pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.

Masjid pertama di Australia didirikan di Marree di sebelah utara Australia Selatan pada 1861. Masjid besar pertama dibangun di Adelaide pada 1890, dan satu lagi didirikan di Broken Hill (New South Wales) pada 1891.

Pasca Perang Dunia Kedua — menuju masyarakat modern serta majemuk

Jumlah umat Islam Australia modern meningkat dengan cepat setelah Perang Dunia Kedua. Pada 1947 – 1971, jumlah warga Muslim meningkat dari 2.704 menjadi 22.331.

Hal ini terjadi terutama karena ledakan ekonomi pasca perang, yang membuka lapangan kerja baru. Banyak Muslim Eropa, terutama dari Turki, memanfaatkan kesempatan ini untuk mencari kehidupan dan rumah baru di Australia. Pada Sensus 2006, tercatat 23.126 Muslim kelahiran Turki di Australia.

Migran Muslim Bosnia dan Kosovo yang tiba di Australia pada dasawarsa 1960an memberi sumbangsih penting terhadap Australia modern melalui peran mereka dalam pembangunan Skema PLTA Snowy Mountains di New South Wales. lalu selanjutnya, migran Libanon, banyak dari antara mereka adalah Muslim, juga mulai berdatangan dalam jumlah yang lebih besar setelah pecahnya perang saudara di Libanon pada 1975. Menurut Sensus 2006, tercatat 7.542 Muslim Australia kelahiran Bosnia dan Herzegovina dan 30.287 kelahiran Libanon.

14206220_337854319886090_4840690405075964879_o

Foto: Pengurus masjid Auburn (komunitas Turki) sedang menjelaskan sejarah pendirian masjid dan komunitas muslim disekitar Auburn city. Penulis juga berkesempatan melaksanakan ibadah shalat Jum’at dimasjid ini.

Muslim Australia sangat majemuk. Pada Sensus 2006, tercatat lebih dari 340.000 Muslim di Australia, di mana dari jumlah tersebut sebanyak 128.904 lahir di Australia dan sisanya lahir di luar negeri. Selain migran dari Libanon dan Turki, yang tercatat merupakan imigran muslim terbesar di Australia, negara asal Muslim lainnya adalah:

  • Afganistan 15.965
  • Pakistan 13.821
  • Banglades 13.361
  • Irak 10.039
  • Indonesia 8.656.

Dalam tiga dasawarsa terakhir, banyak Muslim bermigrasi ke Australia melalui program pengungsi atau kemanusiaan, dan dari negara-negara Afrika seperti Somalia dan Sudan.

Berdasarkan penjelasan salah satu pengurus masjid di Auburn, New South Wales, masyarakat Muslim Australia saat ini sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Sydney dan Melbourne.

Sejak dasawarsa 1970an, masyarakat Muslim telah membangun banyak masjid dan sekolah Islam dan memberi sumbangsih yang dinamis terhadap rajutan multi-budaya masyarakat Australia.

Islam Di Australia Saat Ini

Banyak yang berprasangka bahwa Islam di Australia adalah hal yang sangat tabu, namun hal ini berbanding terbalik dengan apa yang diperkirakan. Tidak begitu sulit menemukan makanan halal di sekitar Sydney, terutama di sekitar daerah komunitas muslim dan pusat keramaian. Bahkan di kampuspun juga terdapat makanan halal serta terdapat logo non halal pada makanan yang mengandung bahan tidak halal. Begitu juga dengan tempat ibadah. Banyak masjid- masjid besar yang kokoh berdiri di Australia. Masjid-masjid ini biasanya dikelola oleh masyarakat komunitas tertentu, misalnya komunitas lebanon, mereka mengelola masjid sendiri di sekitar daerah Puncbowl dan Lakemba, komunitas Turki, mendirikan masjid di Auburn City, dan menariknya, bahasa pengantar yang digunakan ketika solat jum’at dan hari-hari besar Islam lainnya akan menggunakan bahasa dari komunitas tersebut terlebih dahulu lalu dilanjutkan dengan versi bahasa Inggris.

Bagaimana dengan komunitas muslim Indonesia?

Komunitas muslim Indonesia bukanlah komunitas muslim terbesar yang terdapat di Australia, namun bukan berarti komunitas Indonesia di Australia berjumlah sedikit. Tercatat lebih dari 8000 muslim asal Indonesia yang menetapdi Australia saat ini. Biasanya komunitas Indonesia akan menyewa gedung dalam mengadakan kegiatan-kegiatan hari besar Islam, seperti memperingati Maulid Nabi, Solat idul Fitri dan Idul Adha. Sehingga bahasa yang digunakan dalam berceramah juga akan mnggunakan bahasa Indonesia lalu dilanjutkan dengan bahasa Inggris, mirip seperti yang dilaksanakan oleh kamunitas muslim lainnya.

Tokoh Muslim di Australia

Saat ini tercatat banyak tokoh-tokoh dari kalangan muslim yang memilik peran penting dalam keberlangsungan negara Australia, baik itu di bidang  politik, hukum, pendidikan, ekonomi dan lainnya. Sebut saja Associate Professor Dr. KH. Nadirsyah Hosen, Ph.D, warga negara Indonesia yang tercatat sebagai dosen tetap fakultas Hukum Monash University. Gus Nadir (biasa ia disapa) merupakan senior lecturer yang memiliki peran penting pada penelitian dan penyebaran Islam di era Australia modern ini. Gus Nadir yang berdarah Bugis-Bengkulu ini merupakan putra bungsu dari Ulama ternama Indonesia, Prof. KH. Ibrahim Hosen.

gus-nadir-di-anu

Foto: Associate Professor Dr. H. Nadirsyah Hosen, LLM, M.A (Hons), Ph.D yang merupakan tokoh Islam Australia & sekaligus Guru besar di bidang Hukum konstitusional & Islamic Studies di Monash University, Melbourne.

Lalu tokoh lain adalah Mariam Veiszadeh, warga muslim Australia kelahiran Kabul, Afganistan, yang kini merupakan seorang pengacara ternama di Australia. Pengalaman masa kecilnya itu telah membuat Mariam tumbuh menjadi perempuan Muslim yang begitu tangguh. Mariam menemui sejumlah orang Australia yang anti dengan Islam akibat kesalahpahaman mereka, disamping ada juga yang begitu takutnya Islam akan mengubah negeri Australia yang damai dan aman menjadi bergejolak dengan membawa ajaran agama yang sayangnya kini identik dengan kekerasan dan terorisme. Mariam berdiri menjelaskan kesalahpahaman mereka. Ia bahkan melawan kebencian dan perlakuan diskriminatif terhadap Muslim dengan mendirikan organisasi Islamophobia Register Australia. Setiap muslim diminta mendaftarkan kisah atau perlakuan diskriminatif yang mereka alami dan Mariam akan memperjuangkannya lewat hukum yang berlaku; bukan lewat sentimen anti-barat atau dengan kekerasan.

Berdasarkan catatan Prof. Nadirsyah Hosen yang sempat menjadi moderator pada seminar dimana Mariam menjadi pembicara di School of Law, Monash University, Melbourne,  ketika ia mempersilakan Mariam berbicara di podium, tepuk tangan dari sekitar 300 professor dan pengacara seluruh Australia menyambutnya. Mariam kemudian bicara mengenai perjuangannya membela hak asasi Muslim di Australia. Di tengah pidatonya yang memesona, ia terdiam menahan isak tangis, ketika hendak bercerita bagaimana ia mengalami ancaman mati akibat sikapnya ini. Bahkan pihak yang anti Islam pun sampai ada yang tega mengancam untuk membunuh dan memperkosa ia dan keluarganya. Tangisnya pecah. Hadirin terdiam dan larut dalam emosi yang dirasakan Mariam. Seketika Professor Nadirsyah Hosen berdiri ke podium mendekati Mariam, dan menawarkan tisu serta air putih. Ia seka air matanya dengan tisu yang ia berikan. Lantas Mariam kembali teruskan pidatonya. Begitu selesai berpidato, tepuk tangan sekali lagi membahana sebagai bentuk support dari audiens yang luar biasa dari para guru besar, lawyer dan aktvis HAM kepada Mariam. Umat Islam harus diperlakukan sama terhormatnya dengan warga Australia lainnya!

mariam-di-monash

Foto: Mariam Veiszadeh, tokoh muslim keturunan Afganistan yang merupakan seorang pengacara terkenal di Australia sedang memberikan kuliah umum di School of Law, Monash University, Melbourne, Australia.

Mariam sendiri di sebagian kalangan komunitas Muslim mendapat cibiran negatif. Perempuan yang bicara lantang di podium dianggap tabu. Suara mereka aurat bukan?! Mariam juga tidak mengenakan hijab syar’i. Ia melilit jilbabnya dengan stylish. Bahkan ia perlihatkan antingnya disela-sela jilbabnya. Ada pula yang menuduh Mariam tidak layak merepresentasikan Islam dan hanya mengejar popularitas karena ia bukan pakar al-Qur’an dan Hadits.

Itulah gambaran beberapa tokoh Muslim pada Australia modern. Mereka berasal dari berbagai latar belakang dan etnik yang berbeda. Bahkan saat  ini sudah banyak penduduk Australia yang berasal dari kalangan bangsa eropa dan aborigin yang memeluk Islam.

Sources

Biro Statistik Australia 1981-2006 Sensus Populasi dan Perumahan

http://www.australiaplus.com/indonesian/sosok/nadirsyah-hosen-memikirkan-kembali-islam-di-australia/7693350

Home Publisher